Minggu, 19 Maret 2017

Definisi Ijma Beserta Syarat dan Landasannya


Bagi umat Muslim terlebih dalam ilmu Ushul Fiqih, kata ijma' pasti sudah tak asing lagi. Ijma' sendiri ialah pengambilan hukum Islam yang tidak terdapat dalam Qur'an maupun Hadits dengan cara kesepakatan oleh ulama-ulama Islam yang disebut mujtahid. Metode pengambilan hukum ini dipakai oleh beberapa ulama fiqih diantaranya adalah ulama dikalangan mazhab Syafi'i.
Lebih lengkapnya akan dibahas dalam penjelasan dibawah ini.

Definisi ijma’ menurut bahasa terbagi menjadi dua arti:
  1. Bermaksud atau berniat.
  2. Kesepakatan terhadap sesuatu. Suatu kaum dikatakan telah ber-ijma’ bila mereka bersepakat terhadap sesuatu.

Adapun perbedaan antara kedua arti di atas adalah : pertama bisa dilakukan oleh satu orang atau banyak, sedangkan arti yang kedua hanya bisa dilakukan oleh dua orang atau lebih, karena tidak mungkin seseorang bersepakat dengan dirinya.
Sedangkan ijma’ menurut istilah, para ulama ushul berbeda pendapat dalam mendefinisikan ijma’ di antaranya:
  1. Pengarang kitab Fushulul Bada’I berpendapat bahwa ijma’ itu adalah kesepakatan semua mujahid dari ijma’ umat Muhammad SAW dalam suatu masa setelah beliau wafat terhadap hukum syara’.
  2. Dikutip dari buku Ilmu Ushul Fiqh karangan Rahmad Syafe’i, MA, Al-Kamal bin Hamam (Pengarang kitab Tahrir), berpendapat bahwa ijma’ adalah kesepakatan mujahid suatu masa dai ijma’ Muhammad SAW terhadap masalah syara’.
  3. Menurut ‘Abdul-Karim Zaidan dalam buku Ushul Fiqh karya Prof. Dr. H. Satria Effendi, ijma’ adalah kesepakatan para mujahid dari kalangan umat islam tentang hukum syara’ pada suatu masa setelah Rasulullah wafat.

Sedangkan syarat-syarat ijma’ ada 5 yaitu:

a) Yang bersepakat adalah para mujtahid
Secara umum mujtahid itu diartikan sebagai para ulama yang mempunyai kemampuan dalam meng-istinbath hukum dari dalil-dalil syara’.

b) Yang bersepakat adalah seluruh mujtahid
Bila sebagian mujtahid bersepakatdan yang lainnya tidak, meskipun sedikit, maka menurut jumhhur, hal itu tidak bisa dikatakan ijma’, karena ijma’ itu harus mencakup keseluruhan mujtahid.
Sebagian ulama berpandangan bahwa ijma’ itu sah bila dilakukan oleh sebagian besar mujtahid, karena yang dimaksud kesepakatan ijma’, termasuk pula kesepakatan sebagian besar dari mereka. Begitu pula menurut kaidah fiqh, sebagian besar itu telah mencakup hukum keseluruhan.

c) Para Mujtahid Harus Umat Muhammad SAW
Kesepakatan yang dilakukan oleh para ulama selain umat Muhammad SAW tidak bisa dikatakan ijma’. Hal itu menunjukkan adanya umat para Nabi lain yang ber-ijma’. Adapun ijma’ umat Nabi Muhammad SAW tersebut telah dijamin bahwa mereka tidak mungkin ber-ijma’ untuk melakukan kesalahan.

d) Dilakukan setelah wafatnya Nabi
Ijma’ itu tidak terjadi ketika Nabi masih hidup, karena Nabi senantiasa menyepakati perbuatan-perbuatan para sahabat yang dipandang baik, dan itu dianggap sebagai syari’at.

e) Kesepakatan mereka harus berhubungan dengan syari’at
Maksudnya, kesepakatan mereka haruslah kesepakatan yang ada kaitannya dengan syari’at, seperti tentang wajib, sunah, makruh, haram,dan lain-lain.

Ijma’ baru dapat diakui sebagai dalil atau landasan hukum bilamana dalam pembentukannya mempunyai landasan syara’ yang disebut sanad (landasan) ijma’. Para ulama Fiqh sepakat atas keabsahan Al-Qur’an dan Sunnah sebagai landasan ijma’.

Macam-macam Ijma’
Macam-macam ijma’ bila dilihat dari cara terjadinya ada dua macam, yaitu:
a.       Ijma’ Sharih (bersih atau murni)
Berdasarkan Syekh Abdul Wahab Khallaf, dalam buku Ilmu Usul Fikih, pengertian ijma’sharih yaitu kesepakatan mujtahid terhadap hukum mengenai suatu peristiwa. Masing-masing bebas mengeluarkan pendapat. Jelas terlihat dalam fatwa, dan dalam memutus suatu perkara. Tiap-tiap mujtahid itu merupakan sumber hukum, jelas terlihat dari pendapat mereka. Semua mujtahid mengemukakan pendapat mereka masing-masing, kemudian menyepakati salah satunya.
b.      Ijma’ Sukuti
Menurut Saeful Hadi, S.Pd.I, ijma’ sukuti dalah ijma’ dimana para ulama mujtahid berdiam diri tidak mengeluarkan pendapatnya atas mujtahid lain, dan diamnya itu sebagai pertanda persetujuan atas pendapat mujtahid lain, bukan karena takut atau malu. Pengertian itu menurut Hanafiyah dan Hanabilah,dan mereka mengatakan bahwa ijma’ sukuti sah dijadikan sumber hukum. Karena apabila mereka tidak setuju dan memandangnya keliru mereka harus tegas menentangnya. Manakala mereka tidak menentangnya secara tegas, hal itu menandakan bahwa mereka menyetujuinya. Sedangkan menurut Imam Syafi’i dan kalangan Malikiyah ijma’ sukuti tidak dapat dijadikan landasan pembentukan hukum. Alasannya, diamnya sebagian para mujtahid belum tentu menandakan setuju, karena bisa jadi disebabkan takut kepada penguasa, atau boleh jadi juga disebabkan merasa sungkan menentang pendapat mujtahid yang punya pendapat itu karena dianggap senior. Jadi ijma’ sukuti adalah bahwa sebagian ulama mujtahid menyatakan pendapatnya, sedangkan ulama mujtahid lainnya hanya diam tanpa komentar.

Kehujjahan ijma’
1.    Jumhur ulama berpendapat bahwa ijma’ adalah hujjah yang wajib diamalkan dengan alasan:

وَمَن يُشَاقِقِ ٱلرَّسُولَ مِنۢ بَعۡدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ ٱلۡهُدَىٰ وَيَتَّبِعۡ غَيۡرَ سَبِيلِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ نُوَلِّهِۦ مَا تَوَلَّىٰ وَنُصۡلِهِۦ جَهَنَّمَۖ وَسَآءَتۡ مَصِيرًا


115.  Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang Telah dikuasainya itu dan kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (Q.S. 4:115)
Allah mengancam orang yang mengikuti bukan jalan kaum mukminin dengan memasukkannya ke neraka jahanam. Hal ini menunjukkan akan haramnya mengikuti bukan jalannya orang mukmin itu dan wajibnya mengikuti jalan orang mukmin dan apa yang disepakati umat Islam (sebagai tamsil dari mujtahid dan mereka yang memiliki spesialisasi dalam bidang tasyri’) wajib diikuti dan tidak boleh menyalahinya.

2.    Al-Nazham, sebagian Mu’tazilah dan Syi’ah berpendapat bahwa ijma’ bukan hujjah, dengan alasan: “setiap individu mujtahid itu mungkin saja tersalah dan hal ini bisa saja terjadi dalam jemaah mereka.”

Itulah penjelasan ijma'  yang dirangkum dari berbagai sumber. 

Share artikel ini jika menurut sobat bermafaat. Wassalam,


0 komentar